Bisakah Peruqyah Diganggu Jin?

Bisakah Peruqyah Diganggu Jin?

Oleh: Musdar Bustamam Tambusai

Dalam suatu majelis pengajian para asaatidz, seorang ustadz bertanya, bisakah peruqyah diganggu jin?
Pertanyaan ini menarik, kenapa? Karena yang bertanya seorang ustadz. Karena peruqyah dianggap pengusir jin.

Ketika seorang ustadz bertanya “Apakah peruqyah bisa diganggu jin?”. Dia lupa atau mungkin belum tahu kalau Nabi saw. pernah disihir. Artinya, meskipun gangguan jin dan sihir ada perbedaan, tapi intinya manusia yang paling mulia saja diserang dan diganggu. Apalagi ustadz atau kyai, tidak ada jaminan bebas gangguan jin atau sihir. Sebab gangguan jin dan sihir itu adalah sejenis penyakit. Siapa saja bisa terkena.

Ketika peruqyah diserang gangguan sihir, itu merupakan resiko di jalan dakwah sebagai peruqyah sebagaimana Nabi Muhammad disihir oleh Labid bin A’shom, seorang Yahudi. Artinya, seorang peruqyah sedang menjalani dakwah tauhid yang penuh tantangan. Karena sihir pasti pesanan orang yang tidak suka kepada peruqyah melalui tangan tukang sihir yang berkolaborasi degan setan (jin jahat).

Sedangkan gangguan jin biasa yang dapat membuat seseorang kesurupan atau sekedar bisikan untuk melakukan sesuatu yang tidak baik, bukan atas suruhan tukang sihir, maka hal seperti ini sangat sangat memungkinkan menimpa para peruqyah ketika pembentengannya lemah. Demikian pula gangguan jin melalui ‘ain hasad (kedengkian) atau ‘ain i’jaab (kekaguman), sangat bisa terjadi sehingga menimbulkan penyakit yang zhahirnya terlihat medis padahal hakikatnya penyakit ‘ain.

Baik sihir maupun ‘ain, sangat memungkinkan menyerang peruqyah yang lemah pembentengannya dari segi ilmu, iman dan amal. Peruqyah dianggap pengusir jin, sebuah pandangan yang sempit melihat ruang lingkup ruqyah yang sesungguhnya tidak terbatas. Anggapan si Ustadz sama seperti anggapan masyarakat awam yang menganggap ruqyah identik dengan terapi anti jin.

Padahal, jika seorang agamawan (ulama, ustadz atau kiai) memahami ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan al-Qur’an sebagai syifa’, maka yang terbersit di benaknya bahwa al-Qur’an bukan hanya untuk mengatasi penyakit gangguan jin, sihir dan sejenisnya. Tapi lebih luas cakupannya daripada sekedar gangguan jin semata.

Jika peruqyah dianggap sebagai pengusir jin, setan, hantu dan sebutan lainnya, maka itu adalah bagian daripada jangkaun yang dapat dicapai dengan ruqyah syar’iyyah. Berarti anggapan itu tidak salah, cuma tidak utuh.

Nah, jika peruqyah dianggap sebagai praktisi yang mampu mengobati gangguan jin, apakah dia tidak mungkin diganggu jin? Jalankan logika berpikir dan lakukan analisa serta analogi.
Ketika dokter spesialis kanker dianggap mampu melakukan penyembuhan penyakit kanker, apakah dia mungkin terserang kanker?

Ketika dokter spesialis jantung dianggap mampu melakukan pengobatan terhadap penyakit jantung, apakah mustahil dia terserang gangguan jantung?

Jawabannya, tentu semua dokter spesialis apa pun dapat terkena gangguan penyakit yang menjadi spesifik pengobatannya.

Mengapa demikian ? Karena dia melakukan hal-hal yang bisa memicu dan memacu datangnya penyakit tersebut serta tidak mencegah kemungkinan penyakit itu menimpa dirinya.

Bagaimana dengan peruqyah? Sama saja. Jika seorang peruqyah lemah pembentengan dan mau melakukan hal-hal yang disukai setan (jin jahat), maka serangan itu bisa datang. Bahkan serangan itu tidak hanya kepada dirinya semata, tapi juga bisa menyasar keluarganya.

Oleh karena itulah, seorang peruqyah tidak boleh lalai. Pembentengan dengan ilmu, ibadah dan iman serta membersihkan hati dari penyakit-penyakit hati, harus kuat dan kokoh.

Keluarga dan rumahnya harus selalu dibentengi dengan ayat-ayat al-Qur’an, ibadah-ibadah sunat dan doa-doa harian. Dan yang paling penting dari semua itu adalah upgrade dan update keilmuan yang meliputi akidah, ibadah dan tazkiyatun nafs.

Bagaimana bentuk gangguan jin kepada peruqyah?
Bentuknya kebanyakan adalah talbis, penyakit ain dan bisa jadi serangan sihir. Sedangkan kesurupan atau kerasukan, saya belum pernah mendengar atau menyaksikan seorang peruqyah kesurupan.

Fakta dan realita adalah dalil yang paling kuat untuk mengatakan bahwa seorang peruqyah sangat jauh dari kesurupan, bukan tidak mungkin. Saya sarankan, jika kita meruqyah seseorang, niatkan pula ruqyah itu sbg pembentengan kita. Terakhir, mari kuatkan pembentengan kita sebagai peruqyah.

Tantangan peruqyah juga datang dari para ustadz-ustadz yang tidak memahami ruqyah. Kadang ada iri, dengki, fitnah dan sebagainya. Sejak 2005 malang melintang di dunia ruqyah, saya sudah banyak menyaksikan sikap-sikap tidak bersahabat kepada peruqyah oleh para ustadz yang tidak memahami ruqyah.

Padahal – kalau mereka sadar – mereka pun seharusnya belajar ilmu ruqyah. Sebab dakwah dengan ruqyah ini, sangat realistis dan aplikatif.

Guru saya – Dr. Lahmuddin Nasution – dalam salah satu kuliahnya di Pascasarjana IAIN-SU tahun 2004, mengatakan kepada kami “Seorang ustadz itu harus pintar ilmu dukun-dukun. Karena dalam realita, mayarakat memerlukan hal semacam itu”. Demikian lebih kurang.

Dia memang menyebutkan “ilmu dukun-dukun” tapi maksud dia adalah ilmu atau hal-hal yang berada di luar jangkauan medis atau pembentengan ghoib dari serangan-serangan ghoib. Itulah ilmu ruqyah.

Mudah-mudahan kita semua mau mempelajari ilmu ruqyah lebih dalam lagi. Teori ruqyah itu simpel, tapi ilmu ruqyah itu luas.
Robbuna Yusahhil umuurona. Amin.

Medan, 27 September 2018
Musdar Bustamam Tambusai
(Founder MATAIR / Majlis Talaqqi Ilmu Ruqyah, Medan)

Ketua Divisi Penegak Disiplin DPP ARSYI